Sunday 11 December 2011

[Cerpen] Diary After Death


3 Maret 1998…
Rangkaian peristiwa itu kembali mengusik ingatanku. Dan aku yakin, akan selalu begitu sampai kapan pun. Biar bagaimana, aku tak sedikit pun merasa menyesal dengan apa yang telah Tuhan takdirkan padaku. Tidak. Sama sekali tidak menyesal.
@@@
23 Februari 1998…
                Saat itu matahari menyembul dari balik kerumunan awan, seolah dia akan mengintaiku kemana pun aku pergi. Dengan jengkel, aku mematut diriku di depan cermin. Di sana, aku melihat sesosok gadis berambut ikal sepinggang yang dibiarkan terurai dengan gaun merah mudanya yang terlihat anggun. Tapi sungguh tidak serasi dengan wajahnya yang ditekuk berlipat-lipat. Hah! Peduli amat!  Umpatku dalam hati. Seorang dayang mendekatiku dan merapikan bagian belakang gaunku. Disaat yang bersamaan, terdengar pintu kamarku dibuka.
“Dhili! Ya, ampun Dhili! Apa saja yang kau lakukan sejak tadi?! Ayahmu dan Pangeran Nino sudah menunggumu sejak tadi! Kau mau membuat masalah lagi hah?!”, teriak Ibuku sejadi-jadinya. Matanya hampir saja loncat dari tempatnya saat melihatku belum kelar mengenakan gaun.
“Iya, Bu. Maaf”, ujarku seraya mendengus kesal. Apa sih mau mereka? Menjodohkanku dengan si sombong itu? Oh, yang benar saja?! Jangan harap aku mau! “Setelah kau selesai, cepatlah ke bawah, temui Ayahmu dan Pangeran Nino”, ujar Ibuku. Lalu dia beranjak menuju pintu kamar. Dan sebelum menutup pintu, ia menoleh ke arahku dan berkata, “Dan pastikan kau tidak berbuat macam-macam!”. Kemudian terdengar suara pintu dibanting.
                Yah, begitulah kehidupanku sebagai seorang putri. Anak satu-satunya yang tersisa. Aku harus bersikap manis didepan orang-orang yang kubenci sekali pun, aku tak boleh bersendawa saat berada di meja makan, aku tak pernah diizinkan pergi bermain di luar istana, dan bahkan aku tak boleh mengenakan pakaian atau memakan apa yang aku suka! Semua serba diatur! Menyedihkan bukan? Tidak. Seharusnya aku bukan satu-satunya yang tersisa. Ya, seharusnya tidak seperti ini. Seandainya saja…
“Dhiliii…! Tak bisakah kau lebih cepat sedikit?!”, terdengar suara Ibuku berteriak dari bawah.
“Yaaa! Baik, Bu! Aku akan segera turun!”, balasku berteriak setengah dongkol.  Huh! Menyebalkan! Dhilip, ini benar-benar tidak adil!
@@@
25 Februari 1998…
                Aku melongok ke luar jendela kamarku sambil berpangku tangan. Kulihat beberapa kereta kuda mewah berjalan menyusuri desa menuju istana. Sudah bisa ditebak, pemiliknya adalah orang-orang bodoh yang gila hormat. Sigh. Siapa lagi kalau bukan Pangeran Picho, Pangeran Nino, Pangeran Nano, dan pangeran-pangeran nggak guna lainnya. Mereka datang dan menghancurkan moodku, mengiming-imingi Ayah dan Ibuku dengan benda-benda berharga seperti intan, emas, perak, permata, dan teman-temannya. Dan di hadapanku, mereka dengan bangga menyebutkan—bahkan tak segan-segan menceritakan—gelar-gelar mereka, seperti perwira, putra mahkota, keturunan bangsawan, pemimpin Pasukan Rewok* atau apalah itu. Aku tak peduli. Mereka benar-benar membuatku muak. Aku sudah bosan ditanya ini dan itu, dengan pertanyaan yang tak berbobot yang sama. Parahnya, aku harus terus tersenyum semanis mungkin saat menjawab setiap pertanyaan mereka, seolah langit akan runtuh kalau aku tak tersenyum. Sialan!
                Sesaat, terbesit sebuah pikiran nekat dalam benakku. Mataku berkilat. Saat itu, aku tau betul ini akan membuat masalah besar. Tapi aku tak bisa menahan diriku lebih lama lagi dalam hidupku yang sungguh sangat menjengkelkan ini. Dan detik berikutnya, aku sudah menyambar jubah cokelatku di lemari, mengenakannya, dan kemudian melompat keluar jendela kamarku.

                Aku beringsut-ingsut menelusuri kebun istana, berhati-hati melewati setiap penjaga dan berusaha tak bersuara, berharap mereka tuli mendadak supaya tak bisa mendengar suara langkahku. Dan akhirnya, aku sampai pada sebuah celah di tembok pembatas istana. Aku melewati celah itu seraya berjongkok dan kemudian berlari dengan perasaan lega menuju ke pedesaan yang terbentang luas di hadapanku. Yeah! Aku bebas! Seruku dalam hati. Jantungku berdegup kencang seolah melompat-lompat kegirangan, darahku mengalir deras dialiri semangat yang membara, dan mataku berbinar-binar penuh kemenangan. Oh, Tuhan… aku tak percaya ini, aku bebas!—yah, walaupun aku yakin hanya untuk sesaat. tapi setidaknya untuk hari iniii saja… biarkan aku bebas, bebas dari semuanya. 
                Kakiku melangkah dengan riang, sedikit lompatan kesana-kemari menunjukkan dengan jelas kegembiraanku. Aku melewati sebuah pasar yang lumayan ramai. Terlihat banyak orang sedang melakukan kegiatan jual-beli. Tak ada yang mengenaliku, tak seorang pun. Tentu saja, aku menutupi kepalaku dengan penutup kepala jubahku. Lalu aku melangkah mendekati sebuah kios buah-buahan, dan menyentuh sebuah apel merah yang menggiurkan.
“Kau mau beli, Nona?”, tanya sebuah suara yang membuatku terkejut. Ternyata seorang ibu setengah baya yang bertubuh gemuk, pemilik kios. Dengan gugup aku menjawab, ”A,ah tidak. Tidak, terima kasih…”. “Oh, baiklah. Silahkan lihat-lihat”, ujar si pemilik kios seraya tersenyum. Aku hanya balas tersenyum sambil menganggukkan kepala. Saat aku sibuk berkutat dengan buah-buahan indah di kios itu, tiba-tiba ada seseorang yang berteriak seperti kerasukan setan.
“Pencuri! Tangkap pencuri kecil itu! Tangkap! Hey, kau! Dasar PENCURI…!”
Dan sepersekian detik berselang, seorang bocah laki-laki menubrukku. Membuat kami berdua terjatuh bersamaan, dan sepotong roti yang tadi dipegangnya kini jatuh bergelinding ke tanah. Aku cepat-cepat membantu anak itu untuk bangun dan berkata dengan panik, “Oh, ya ampun. Kau tak ap—“. Kata-kata yang hendak kuucapkan tak bisa keluar dari mulutku. Kerongkonganku tercekat. Mataku tak berkedip sama sekali, menatap bocah dihadapanku dengan penuh, penuh… oh, sungguh tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aku terkejut, sedih, sekaligus bahagia. Tak terasa, sebutir air mata mengalir dari pelupuk mataku. Perlahan-lahan, aku menyentuh wajah bocah itu dengan hati-hati. Seolah takut dia akan hancur jika tidak menyentuhnya dengan hati-hati.
“Oh, Tuhan… Dhilip? Kaukah ini?”, tanyaku nyaris terdengar seperti bisikan. Dan kenangan buruk yang selama ini berhasil kupendam muncul kembali ke permukaan ingatanku.
@@@
3 Maret 1987…
                “Dengar ya, Dhilip sayang. Sebentar lagi Ayah akan mengunjungi istana di negeri seberang, dan kau harus ikut. Ya? Kau kan anak Ayah”, ujar Ibu dengan senyum lembutnya, seraya memakaikan pakaian kerajaan pada Dhilip yang berusia lima tahun. Dengan penuh kebencian, aku menatap mereka berdua.
“Baik, Bu. Aku mengerti”, jawab Dhilip dengan senyum sok manisnya. Dengan kemarahan yang bertahta dalam diriku, aku menumpahkan kekesalanku pada Ibu, “Ini tidak adil, Bu! Kenapa selalu Dhilip yang ikut bersama Ayah ke istana lain?! Kenapa aku tak pernah diizinkan ikut?! Curang!”
“Jaga ucapanmu Dhili! Kalau Ayahmu dengar, dia bisa marah besar!”
“Tapi memang benar kan?! Ayah dan Ibu selalu saja memikirkan Dhilip! Tak pernah sekali pun memikirkan perasaanku! Setiap kali selalu saja Dhilip! Dhilip, Dhilip, dan Dhilip! Menyebalkan!”
“Dhili! Kau tak boleh berkata seperti itu! Dhilip itu adikmu! Dan dia yang harus ikut Ayahmu ke istana lain, karena—“
“Karena dia laki-laki! Iya kan? Itu kan yang ingin Ibu katakan?! Memangnya kalau perempuan tak boleh pergi ke istana lain?! Kenapa ada peraturan konyol sepert—“. PLAK! Ibu menamparku. Dan dengan kejam dia berkata, “Jangan keluar kamar dan renungkan kesalahanmu!”. Lalu dia keluar kamar dan membanting pintu dibelakangnya. Sial! Air mataku tak berhenti mengalir.
                Dhilip menatapku. Dengan ragu-ragu, adik kembarku itu mendekatiku, dan berkata dengan polosnya, “Kakak, kakak boleh ikut ke istana negeri seberang bersamaku jika kakak mau.” Aku tidak menjawab. Aku membalasnya dengan tatapan penuh kebencian. “Tapi, kalau kakak tak mau, aku bisa meminta Ayah agar kakak menggantikanku untuk mengunjungi istan—“
“Tutup mulutmu!”, bentakku. Dhilip langsung diam dan menunduk. Lalu aku beranjak dari kamarku, membanting pintu kamar, dan berlari keluar istana, mencari tempat yang bisa menenangkan hatiku yang sakit ini.
                Di ujung tebing belakang istana, aku duduk dan menangis terisak-isak. Aku mendengar suara langkah mendekat, kemudian semakin dekat, lalu berhenti. Tepat di sampingku. Aku mendongak, dan melihat Dhilip berdiri disana. “Mau apa kau?”, tanyaku sengit.
“Kakak… maafkan aku. Aku mengerti perasaan kakak. Tapi, sungguh aku tak bermak—“
“Diam kau! Tau apa kau tentang perasaanku?! Kau tak pernah merasakan bagaimana sakitnya saat Ibu lebih menyayangimu ketimbang aku! Kau juga tak pernah merasakan bagaimana rasanya saat kau dianggap lebih! Lebih baik, lebih sopan, lebih manis, dan lebih segalanya! Dan aku! Aku yang selalu salah! SELALU!”, bentakku pada Dhilip bertubi-tubi. Kemarahan benar-benar telah menguasaiku. Lalu aku diam sejenak, bergulat dengan pikiranku sendiri, kemudian air mataku menetes lagi. “Ya, benar. Seharusnya begitu”, ujarku lebih seperti berbicara pada diri sendiri. “Kau! Seharusnya kau mati saja sana!”, teriakku. Sontak terpancar keterkejutan dari sinar mata Dhilip. “Seharusnya kau mati! Kalau kamu nggak ada, aku nggak perlu merasakan penderitaan bersaing denganmu!”, jeritku seraya berlari meninggalkan Dhilip yang berdiri mematung dengan tatapan kosong.
                Keesokan harinya, aku tak berhasil menemukan Dhilip. Semuanya berakhir di ujung tebing itu. Di sana, ada sandal yang biasa dipakai Dhilip setiap hari, bersama sepucuk surat. Surat untukku, yang isinya...
Kakak, Dhilip sayang kakak. Semoga kakak bahagia…
Adik kembarmu, Dhilip.
@@@
25 Februari 1998…
                Jeritan orang-orang yang berkerumun di pasar menarikku kembali ke dunia nyata. Bocah di hadapanku berdiri dan berlari secepat kilat. Kemudian orang-orang berteriak tak karuan, “Prajurit! Prajurit istana datang!” Oh, tidak mereka mencariku! Sesaat kepanikan menjalar keseluruh tubuhku. Langsung saja aku bergegas meninggalkan keramaian pasar. Seraya berlari, dalam hati kuberdo’a. Tuhan… aku rela jika aku harus memberikan nyawaku. Asalkan kau kembalikan dia.
                Aku berlari secepat yang aku bisa. Namun di jalan setapak yang sempit dan licin, aku tergelincir. Dan terperosok ke persawahan di bawah. Kakiku terkilir. Dan tiba-tiba seseorang mendekatiku, dan bertanya dengan nada yang menyejukkan kalbu, “Kau tidak apa-apa, Nona?”. Saat aku mendongak, alangkah terkejutnya aku. Aku seolah sedang bercermin. Bedanya, dia berambut pendek dan berpenampilan kumal. Seseorang dengan wajah yang bagai pinang dibelah dua dengan wajahku langsung terlihat panik. Lalu dia dengan gugup berusaha meninggalkanku, tapi aku menyekal lengannya. Aku menelan ludah, dan bertanya dengan ragu-ragu, “Dhilip… kau Dhilip kan?”. Laki-laki itu tak menjawab. Sesaat rasanya hatiku terbetot, menahan ngilu yang amat sangat. Benarkah ini hanya ilusi—lagi—?
Dan tiba-tiba saja laki-laki itu berlutut dihadapanku. “Ma, maafkan aku! Sungguh! Aku sudah berusaha membuat diriku meninggalkan dunia! Tapi, tapi saat itu Tuhan tak menerimaku! Jadi, jadi selama ini aku tinggal di desa dan, dan berusaha agar tak terlihat! Aku sudah melakukan segala hal supaya aku tak hidup, kak! Aku sudah berusaha agar tak hadir lagi dalam hidup kakak! A, aku tak tau kalau bakal ketemu kakak lagi! Sungguh! A, ak—“, ujarnya terbata-bata seraya menunduk, tak berani menatap mataku. Matanya tampak berair. Dia begitu panik menjelaskan banyak hal. Aku menyentuh bibir lelaki itu dengan jari telunjukku, mengisyaratkan padanya untuk berhenti berbicara. Air mataku mengalir lagi. Ya, lagi-lagi mengalir. Tapi kali ini air mata bahagia. Sangat bahagia.
“Dhilip? Kaukah ini?”, tanyaku seraya menyentuh wajahnya. Aku menatap matanya, menunggu jawaban yang kunantikan sejak sebelas tahun lalu. Aku menunggu, dan terus menunggu.
“Y, ya. Aku Dhilip, kak”, jawabnya terbata-bata. Jantungku seolah mau pecah mendengar jawaban itu.
“Dasar bodoh!”, ujarku, yang kemudian berhambur memeluk Dhilip sekuat tenagaku, dan menangis sejadi-jadinya. Dari kejauhan terdengar suara langkah-langkah prajurit istana, “Putri Dhili? Apa anda tak apa-apa?”. Saat itu aku tau,  Tuhan telah mengabulkan do’aku. Karena beberapa* hari setelah itu, Tuhan mengutus malaikat-Nya untuk menjemputku. Meninggalkan kenangan yang penuh kedamaian.

Dhilip, kakak sayang kamu selamanya…
Kakak kembarmu, Dhili.


*Pasukan Rewk: pasukan perang terkuat di zaman itu.
*tepatnya tanggal 29 Februari 1998

No comments: