Saturday 24 December 2011

Join My Page In Facebook!

Welcome to

SHINee and Shawol

Indonesia!!





SHINee is a contemporary band compried of 5 members, Onew, Jonghyunm Key, Miho, and Taemin.
Contemporary band represents the team that suggests and leads the trend that suits the current world in all areas including mysics, dance, and fashion, and like the title, contemporary band, SHINee will present their unique and trendy music while keeping contemporary images in dance and fashion.

Also, the name of the group, SHINee, is a coined word composed by adding the noun suffix, "ee', to the word 'Shine' and it is interpreted as the person who receives the light' or in other words, the person in the limelight, and it also harbors the great ambition of SHINee to mesmerize a number of music fans across ages and borders with a wide variety of music.


Onew (leader)
Stage Name: 온유 / 温流
Real Name: Lee Jinki (이진기)
DOB: December 14th, 1989
Height: 177cm
Bloodtype: O
Hobby/Interest: Soccer, Basketball, Performing, Mandarin, English.



Jonghyun
Stage Name: 종현 / 钟铉
Real Name: Kim Jonghyun (김종현)
DOB: April 8th, 1990
Height: 173cm
Bloodtype: AB
Family: Parents, sister
Hobby/Interest: Singing, Piano *
Appearances: Zhang Li Yin's 交錯的愛 (Wrongly Given Love)
* Although the original bio does not say he's fluent in Mandarin,
he probably is since he sang in Mandarin for ZLY's song. 


Key
Stage Name: 키
Real Name: Kim Kibum (김기범)
DOB: September 23rd, 1991
Height: 177cm
Bloodtype: B
Hobby/Interest: Rap, Dance, Water Skiing, English, Mandarin
Appearances: Attack of the Pin-Up Boys (2007).



Minho
Stage Name: 민호 / 珉豪
Real Name: Choi Minho (최민호)
DOB: December 9th, 1990
Height: 181cm
Family: Parents, older brother
Hobby/Interest: Watching Movies, Singing, Writing Lyrics, Mandarin
Appearances: Ha SangBaek's Fashion Show (March 2008), 2008/2009 F/W Pret-a-Porter Busan Fashion Show (May 2008).



Taemin
Stage Name: 태민 / 泰民
Real Name: Lee Taemin (이태민)
DOB: July 18th, 1993
Hometown: Dongbong-gu, Seoul
Height: 175cm
Weight: 50kg
Bloodtype: B
Family: Parents, older brother
Education Graduated middle school
Hobby/Interest: Listening to Music, Popping (dance), Piano, Mandarin
* He's considered the best dancer, and he's also the youngest.




사랑해 사이니!! XD



Sunday 11 December 2011

[Cerpen] Diary After Death


3 Maret 1998…
Rangkaian peristiwa itu kembali mengusik ingatanku. Dan aku yakin, akan selalu begitu sampai kapan pun. Biar bagaimana, aku tak sedikit pun merasa menyesal dengan apa yang telah Tuhan takdirkan padaku. Tidak. Sama sekali tidak menyesal.
@@@
23 Februari 1998…
                Saat itu matahari menyembul dari balik kerumunan awan, seolah dia akan mengintaiku kemana pun aku pergi. Dengan jengkel, aku mematut diriku di depan cermin. Di sana, aku melihat sesosok gadis berambut ikal sepinggang yang dibiarkan terurai dengan gaun merah mudanya yang terlihat anggun. Tapi sungguh tidak serasi dengan wajahnya yang ditekuk berlipat-lipat. Hah! Peduli amat!  Umpatku dalam hati. Seorang dayang mendekatiku dan merapikan bagian belakang gaunku. Disaat yang bersamaan, terdengar pintu kamarku dibuka.
“Dhili! Ya, ampun Dhili! Apa saja yang kau lakukan sejak tadi?! Ayahmu dan Pangeran Nino sudah menunggumu sejak tadi! Kau mau membuat masalah lagi hah?!”, teriak Ibuku sejadi-jadinya. Matanya hampir saja loncat dari tempatnya saat melihatku belum kelar mengenakan gaun.
“Iya, Bu. Maaf”, ujarku seraya mendengus kesal. Apa sih mau mereka? Menjodohkanku dengan si sombong itu? Oh, yang benar saja?! Jangan harap aku mau! “Setelah kau selesai, cepatlah ke bawah, temui Ayahmu dan Pangeran Nino”, ujar Ibuku. Lalu dia beranjak menuju pintu kamar. Dan sebelum menutup pintu, ia menoleh ke arahku dan berkata, “Dan pastikan kau tidak berbuat macam-macam!”. Kemudian terdengar suara pintu dibanting.
                Yah, begitulah kehidupanku sebagai seorang putri. Anak satu-satunya yang tersisa. Aku harus bersikap manis didepan orang-orang yang kubenci sekali pun, aku tak boleh bersendawa saat berada di meja makan, aku tak pernah diizinkan pergi bermain di luar istana, dan bahkan aku tak boleh mengenakan pakaian atau memakan apa yang aku suka! Semua serba diatur! Menyedihkan bukan? Tidak. Seharusnya aku bukan satu-satunya yang tersisa. Ya, seharusnya tidak seperti ini. Seandainya saja…
“Dhiliii…! Tak bisakah kau lebih cepat sedikit?!”, terdengar suara Ibuku berteriak dari bawah.
“Yaaa! Baik, Bu! Aku akan segera turun!”, balasku berteriak setengah dongkol.  Huh! Menyebalkan! Dhilip, ini benar-benar tidak adil!
@@@
25 Februari 1998…
                Aku melongok ke luar jendela kamarku sambil berpangku tangan. Kulihat beberapa kereta kuda mewah berjalan menyusuri desa menuju istana. Sudah bisa ditebak, pemiliknya adalah orang-orang bodoh yang gila hormat. Sigh. Siapa lagi kalau bukan Pangeran Picho, Pangeran Nino, Pangeran Nano, dan pangeran-pangeran nggak guna lainnya. Mereka datang dan menghancurkan moodku, mengiming-imingi Ayah dan Ibuku dengan benda-benda berharga seperti intan, emas, perak, permata, dan teman-temannya. Dan di hadapanku, mereka dengan bangga menyebutkan—bahkan tak segan-segan menceritakan—gelar-gelar mereka, seperti perwira, putra mahkota, keturunan bangsawan, pemimpin Pasukan Rewok* atau apalah itu. Aku tak peduli. Mereka benar-benar membuatku muak. Aku sudah bosan ditanya ini dan itu, dengan pertanyaan yang tak berbobot yang sama. Parahnya, aku harus terus tersenyum semanis mungkin saat menjawab setiap pertanyaan mereka, seolah langit akan runtuh kalau aku tak tersenyum. Sialan!
                Sesaat, terbesit sebuah pikiran nekat dalam benakku. Mataku berkilat. Saat itu, aku tau betul ini akan membuat masalah besar. Tapi aku tak bisa menahan diriku lebih lama lagi dalam hidupku yang sungguh sangat menjengkelkan ini. Dan detik berikutnya, aku sudah menyambar jubah cokelatku di lemari, mengenakannya, dan kemudian melompat keluar jendela kamarku.

                Aku beringsut-ingsut menelusuri kebun istana, berhati-hati melewati setiap penjaga dan berusaha tak bersuara, berharap mereka tuli mendadak supaya tak bisa mendengar suara langkahku. Dan akhirnya, aku sampai pada sebuah celah di tembok pembatas istana. Aku melewati celah itu seraya berjongkok dan kemudian berlari dengan perasaan lega menuju ke pedesaan yang terbentang luas di hadapanku. Yeah! Aku bebas! Seruku dalam hati. Jantungku berdegup kencang seolah melompat-lompat kegirangan, darahku mengalir deras dialiri semangat yang membara, dan mataku berbinar-binar penuh kemenangan. Oh, Tuhan… aku tak percaya ini, aku bebas!—yah, walaupun aku yakin hanya untuk sesaat. tapi setidaknya untuk hari iniii saja… biarkan aku bebas, bebas dari semuanya. 
                Kakiku melangkah dengan riang, sedikit lompatan kesana-kemari menunjukkan dengan jelas kegembiraanku. Aku melewati sebuah pasar yang lumayan ramai. Terlihat banyak orang sedang melakukan kegiatan jual-beli. Tak ada yang mengenaliku, tak seorang pun. Tentu saja, aku menutupi kepalaku dengan penutup kepala jubahku. Lalu aku melangkah mendekati sebuah kios buah-buahan, dan menyentuh sebuah apel merah yang menggiurkan.
“Kau mau beli, Nona?”, tanya sebuah suara yang membuatku terkejut. Ternyata seorang ibu setengah baya yang bertubuh gemuk, pemilik kios. Dengan gugup aku menjawab, ”A,ah tidak. Tidak, terima kasih…”. “Oh, baiklah. Silahkan lihat-lihat”, ujar si pemilik kios seraya tersenyum. Aku hanya balas tersenyum sambil menganggukkan kepala. Saat aku sibuk berkutat dengan buah-buahan indah di kios itu, tiba-tiba ada seseorang yang berteriak seperti kerasukan setan.
“Pencuri! Tangkap pencuri kecil itu! Tangkap! Hey, kau! Dasar PENCURI…!”
Dan sepersekian detik berselang, seorang bocah laki-laki menubrukku. Membuat kami berdua terjatuh bersamaan, dan sepotong roti yang tadi dipegangnya kini jatuh bergelinding ke tanah. Aku cepat-cepat membantu anak itu untuk bangun dan berkata dengan panik, “Oh, ya ampun. Kau tak ap—“. Kata-kata yang hendak kuucapkan tak bisa keluar dari mulutku. Kerongkonganku tercekat. Mataku tak berkedip sama sekali, menatap bocah dihadapanku dengan penuh, penuh… oh, sungguh tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aku terkejut, sedih, sekaligus bahagia. Tak terasa, sebutir air mata mengalir dari pelupuk mataku. Perlahan-lahan, aku menyentuh wajah bocah itu dengan hati-hati. Seolah takut dia akan hancur jika tidak menyentuhnya dengan hati-hati.
“Oh, Tuhan… Dhilip? Kaukah ini?”, tanyaku nyaris terdengar seperti bisikan. Dan kenangan buruk yang selama ini berhasil kupendam muncul kembali ke permukaan ingatanku.
@@@
3 Maret 1987…
                “Dengar ya, Dhilip sayang. Sebentar lagi Ayah akan mengunjungi istana di negeri seberang, dan kau harus ikut. Ya? Kau kan anak Ayah”, ujar Ibu dengan senyum lembutnya, seraya memakaikan pakaian kerajaan pada Dhilip yang berusia lima tahun. Dengan penuh kebencian, aku menatap mereka berdua.
“Baik, Bu. Aku mengerti”, jawab Dhilip dengan senyum sok manisnya. Dengan kemarahan yang bertahta dalam diriku, aku menumpahkan kekesalanku pada Ibu, “Ini tidak adil, Bu! Kenapa selalu Dhilip yang ikut bersama Ayah ke istana lain?! Kenapa aku tak pernah diizinkan ikut?! Curang!”
“Jaga ucapanmu Dhili! Kalau Ayahmu dengar, dia bisa marah besar!”
“Tapi memang benar kan?! Ayah dan Ibu selalu saja memikirkan Dhilip! Tak pernah sekali pun memikirkan perasaanku! Setiap kali selalu saja Dhilip! Dhilip, Dhilip, dan Dhilip! Menyebalkan!”
“Dhili! Kau tak boleh berkata seperti itu! Dhilip itu adikmu! Dan dia yang harus ikut Ayahmu ke istana lain, karena—“
“Karena dia laki-laki! Iya kan? Itu kan yang ingin Ibu katakan?! Memangnya kalau perempuan tak boleh pergi ke istana lain?! Kenapa ada peraturan konyol sepert—“. PLAK! Ibu menamparku. Dan dengan kejam dia berkata, “Jangan keluar kamar dan renungkan kesalahanmu!”. Lalu dia keluar kamar dan membanting pintu dibelakangnya. Sial! Air mataku tak berhenti mengalir.
                Dhilip menatapku. Dengan ragu-ragu, adik kembarku itu mendekatiku, dan berkata dengan polosnya, “Kakak, kakak boleh ikut ke istana negeri seberang bersamaku jika kakak mau.” Aku tidak menjawab. Aku membalasnya dengan tatapan penuh kebencian. “Tapi, kalau kakak tak mau, aku bisa meminta Ayah agar kakak menggantikanku untuk mengunjungi istan—“
“Tutup mulutmu!”, bentakku. Dhilip langsung diam dan menunduk. Lalu aku beranjak dari kamarku, membanting pintu kamar, dan berlari keluar istana, mencari tempat yang bisa menenangkan hatiku yang sakit ini.
                Di ujung tebing belakang istana, aku duduk dan menangis terisak-isak. Aku mendengar suara langkah mendekat, kemudian semakin dekat, lalu berhenti. Tepat di sampingku. Aku mendongak, dan melihat Dhilip berdiri disana. “Mau apa kau?”, tanyaku sengit.
“Kakak… maafkan aku. Aku mengerti perasaan kakak. Tapi, sungguh aku tak bermak—“
“Diam kau! Tau apa kau tentang perasaanku?! Kau tak pernah merasakan bagaimana sakitnya saat Ibu lebih menyayangimu ketimbang aku! Kau juga tak pernah merasakan bagaimana rasanya saat kau dianggap lebih! Lebih baik, lebih sopan, lebih manis, dan lebih segalanya! Dan aku! Aku yang selalu salah! SELALU!”, bentakku pada Dhilip bertubi-tubi. Kemarahan benar-benar telah menguasaiku. Lalu aku diam sejenak, bergulat dengan pikiranku sendiri, kemudian air mataku menetes lagi. “Ya, benar. Seharusnya begitu”, ujarku lebih seperti berbicara pada diri sendiri. “Kau! Seharusnya kau mati saja sana!”, teriakku. Sontak terpancar keterkejutan dari sinar mata Dhilip. “Seharusnya kau mati! Kalau kamu nggak ada, aku nggak perlu merasakan penderitaan bersaing denganmu!”, jeritku seraya berlari meninggalkan Dhilip yang berdiri mematung dengan tatapan kosong.
                Keesokan harinya, aku tak berhasil menemukan Dhilip. Semuanya berakhir di ujung tebing itu. Di sana, ada sandal yang biasa dipakai Dhilip setiap hari, bersama sepucuk surat. Surat untukku, yang isinya...
Kakak, Dhilip sayang kakak. Semoga kakak bahagia…
Adik kembarmu, Dhilip.
@@@
25 Februari 1998…
                Jeritan orang-orang yang berkerumun di pasar menarikku kembali ke dunia nyata. Bocah di hadapanku berdiri dan berlari secepat kilat. Kemudian orang-orang berteriak tak karuan, “Prajurit! Prajurit istana datang!” Oh, tidak mereka mencariku! Sesaat kepanikan menjalar keseluruh tubuhku. Langsung saja aku bergegas meninggalkan keramaian pasar. Seraya berlari, dalam hati kuberdo’a. Tuhan… aku rela jika aku harus memberikan nyawaku. Asalkan kau kembalikan dia.
                Aku berlari secepat yang aku bisa. Namun di jalan setapak yang sempit dan licin, aku tergelincir. Dan terperosok ke persawahan di bawah. Kakiku terkilir. Dan tiba-tiba seseorang mendekatiku, dan bertanya dengan nada yang menyejukkan kalbu, “Kau tidak apa-apa, Nona?”. Saat aku mendongak, alangkah terkejutnya aku. Aku seolah sedang bercermin. Bedanya, dia berambut pendek dan berpenampilan kumal. Seseorang dengan wajah yang bagai pinang dibelah dua dengan wajahku langsung terlihat panik. Lalu dia dengan gugup berusaha meninggalkanku, tapi aku menyekal lengannya. Aku menelan ludah, dan bertanya dengan ragu-ragu, “Dhilip… kau Dhilip kan?”. Laki-laki itu tak menjawab. Sesaat rasanya hatiku terbetot, menahan ngilu yang amat sangat. Benarkah ini hanya ilusi—lagi—?
Dan tiba-tiba saja laki-laki itu berlutut dihadapanku. “Ma, maafkan aku! Sungguh! Aku sudah berusaha membuat diriku meninggalkan dunia! Tapi, tapi saat itu Tuhan tak menerimaku! Jadi, jadi selama ini aku tinggal di desa dan, dan berusaha agar tak terlihat! Aku sudah melakukan segala hal supaya aku tak hidup, kak! Aku sudah berusaha agar tak hadir lagi dalam hidup kakak! A, aku tak tau kalau bakal ketemu kakak lagi! Sungguh! A, ak—“, ujarnya terbata-bata seraya menunduk, tak berani menatap mataku. Matanya tampak berair. Dia begitu panik menjelaskan banyak hal. Aku menyentuh bibir lelaki itu dengan jari telunjukku, mengisyaratkan padanya untuk berhenti berbicara. Air mataku mengalir lagi. Ya, lagi-lagi mengalir. Tapi kali ini air mata bahagia. Sangat bahagia.
“Dhilip? Kaukah ini?”, tanyaku seraya menyentuh wajahnya. Aku menatap matanya, menunggu jawaban yang kunantikan sejak sebelas tahun lalu. Aku menunggu, dan terus menunggu.
“Y, ya. Aku Dhilip, kak”, jawabnya terbata-bata. Jantungku seolah mau pecah mendengar jawaban itu.
“Dasar bodoh!”, ujarku, yang kemudian berhambur memeluk Dhilip sekuat tenagaku, dan menangis sejadi-jadinya. Dari kejauhan terdengar suara langkah-langkah prajurit istana, “Putri Dhili? Apa anda tak apa-apa?”. Saat itu aku tau,  Tuhan telah mengabulkan do’aku. Karena beberapa* hari setelah itu, Tuhan mengutus malaikat-Nya untuk menjemputku. Meninggalkan kenangan yang penuh kedamaian.

Dhilip, kakak sayang kamu selamanya…
Kakak kembarmu, Dhili.


*Pasukan Rewk: pasukan perang terkuat di zaman itu.
*tepatnya tanggal 29 Februari 1998

[FF] My Complicated Destiny

Title: My Complicated Destiny
Genre: yaoi, tragis, romance [pokoknya 'suka-suka gue'!]
Author: ChoiSH (Sendiana)
Main Cast: Onew, Minho, Soo Hoon
Other cast: SHINee's members


P.S.: yang GAK RCL siap-siap author getok!






[???  POV]


-May 2007-


Aku gak tau sekarang aku ada dimana, aku gak tau sekarang tanggal, bulan, dan tahun berapa, bahkan aku gak tau siapa diriku…
Saat seseorang bertanya, “Kau ingat siapa namamu?”
Yang kulakukan hanya menatap si penanya dengan tatapan kosong. Blank. Sama sekali tak ada yang kuingat.
Tapi… aku ingat akan sesuatu. Alisku berkerut berpikir keras. Berusaha keras mengorek-ngorek ingatan kecil yang tersembunyi di sudut terlupakan dalam ingatanku. Dan akhirnya aku menemukannya. Hanya satu ingatan kecil yang dapat aku temukan. Ya, dan aku yakin sekali dengan yang satu ini.


Aku yeoja.


Aku yakin sekali dengan ingatan yang satu ini. SANGAT YAKIN. Aku tidak mungkin salah tentang hal ini.


“Choi Minho”, ujar si penanya membuyarkan lamunanku.
“Hah? Mwo?”
“Namamu Choi Minho. Kurasa kau mengalami amnesia karena kecelakaan itu”, ujarnya seraya menatapku.
Apa? Choi apa? Bukankah itu nama yang lebih cocok untuk seorang namja?


“Oh ya, cheoneun Yun Sik imnida. Aku dokter  yang merawatmu selama seminggu ini. Kau mengalami kecelakaan seminggu yang lalu dan tidak sadarkan diri selama seminggu. Dan…”, tersirat sedikit keraguan diwajahnya. “Yeoja yang kau tabrak tewas di tempat saat kecelakaan itu terjadi…”
Kerongkonganku tercekat. Wajahku langsung pucat. Yeoja? Tewas ditempat? Aku menabrak seseorang? Apa maksud semua ini? Apa dia tidak salah bicara?


“Tidak usah terlalu dipikirkan, itu bukan salahmu. Gadis itu yang salah karena tidak menyebrang pada tempatnya. Hm… kondisimu sekarang sudah membaik. Sebaiknya kau istirahat beberapa hari lagi dan setelah itu kau boleh pulang. Keluargamu pasti senang  mendengar kau sudah siuman. Sebaikanya aku telepon dulu keluargamu”, ujarnya dengan seulas senyum menghiasi wajahnya. Kemudian dia keluar dari ruangan dan meninggalkanku sendirian di ruangan yang serba putih ini.


Kuedarkan pandanganku kesekeliling ruangan. Ini di rumah sakit. Ya, tentu saja, aku kan baru  saja mengalami kecelakaan, pasti di rawat di rumah sakit. Gak mungkin di rumah duka. Lalu, perlahan aku beranjak dari tempatku berbaring. Menapakkan kakiku ke lantai dan melangkah terseok-seok karena kondisiku yang belum terlalu fit. Aku berjalan ke arah pintu. Terus berjalan. Namun langkahku terhenti saat aku menyadari sesuatu. Aku merasa ada sesuatu yang aneh. Disamping kananku, ada cermin besar yang menjulang tinggi nyaris menggapai langit-langit. Wajahku kembali pucat pasi, keringat dingin membanjiri tubuhku. Sedikit demi sedikit kutolehkan wajahku untuk menatap bayanganku di cermin. Dan saat mataku bertemu dengan mata bayanganku di cermin, jantungku langsung terbetot, kakiku langsung lemas.


Di cermin itu, aku melihat sesosok bepakaian serba putih, berwajah pucat, berkeringat, dan menampakkan wajahnya yang terlihat sangat ketakutan. Wajahnya  begitu… tampan. Matanya yang bulat, bibirnya yang menggoda, hidungnya, rambutnya, semuanya… sempurna. Belum pernah aku melihat namja serupawan dan sesempurna ini. Selama menit-menit yang terasa panjang, aku hanya diam membeku menatap bayangan di cermin itu.
Kemudian detik berikutnya aku langsung menyadari sesuatu…
Ini bukan tubuhku. Ini bukan aku.


Terngiang lagi ucapan dokter yang tadi, “Kau mengalami kecelakaan seminggu yang lalu dan tidak sadarkan diri selama seminggu. Dan… Gadis yang kau tabrak tewas di tempat saat kecelakaan itu terjadi…”
“Ga.  Ini gak mungkin!”, jeritku ditengah keputusasaan yang tidak masuk akal ini. Semakin kuat aku menolak kenyataan ini, semakin benar kenyataan yang terjadi.


Tubuku tertukar. Bukan gadis itu yang mati dalam kecelakaan, tapi pemilik tubuh inilah… Choi Minho, dia mati bersama tubuhku.


=============================================================


[Minho POV]


-November 2011-


“Minhooo...!!”
Hah, suara sirine umma sudah mengiang-ngiang mengusikku yang sedang asik-asiknya terlelap di atas kasur  yang entah kenapa pagi ini terasa sangat nyaman sekali.  Bagaimana bisa dia tega sekali membangunkan aku yang tak berdaya oleh kantuk sialan ini? Dengan jengkel, kusumbat kedua telingaku dengan bantal dan menarik kembali selimutku sampai menutupi seluruh tubuhku. Kupikir dengan begitu umma akan berhenti berteriak dan menyerah, membiarkanku tetap tidur sepanjang hari ini. Tapi ternyata tidak.


BRAKK!! Pintu kamarku dibuka dengan cara yang sangat tidak berperikebendaan.


“Minho! Bangun! Kau bisa telat sekolah nanti! Cepat bangun dan segera mandi sekarang!”, bentak umma seraya menarik paksa selimutku dan menggeretku ke kamar mandi tanpa peduli betapa ngantuknya aku karena semalam latihan dance hingga larut malam. Ingin rasanya aku menjerit. Tapi tidak bisa. Yang menjerit saat ini justru batinku.
“Setelah selesai mandi, segera turun ke bawah. Minseok sudah menunggumu untuk berangkat sekolah. Dan ingat, jangan lama-lama!”, perintah umma galak.


“Ne umma. NE. ARA”, jawabku singkat dan langsung saja aku hengkang dari hadapan umma dan masuk ke kamar mandi dengan setengah hati. Huh, dasar umma, nggak tau apa kalo mata anaknya ini sekarat. Saat mengguyur sekujur tubuhku dengan air, sempat terbesit dalam benakku untuk tidur sebentar di kamar mandi. Tapi kuurungkan niatku, mengingat Minseok pasti akan membunuhku kalau sampai hal itu terjadi.


============================================================


“Gomawo hyung, sudah mengantarku”, ujarku dengan wajah sedingin es batu.
“Ne. Aku pergi sekarang”, balas Minseok hyung tak kalah dinginnnya, mesin motornya menderu terdengar memekakkan telinga. Kemudian motornya melengos pergi, dia menghilang di tikungan bersama suara deru motornya seolah terbawa angin lalu.


Hah, seperti  inilah kehidupanku. Bangun pagi, berangkat sekolah, pulang sekolah langsung diantar oleh Minseok hyung ke gedung SM Entertainment untuk latihan atau paling tidak menghadiri acara reality show atau menghadiri undangan yang ditujukan untuk SHINee, setelah itu pulang tengah malam, dan tidur. Lalu bangun pagi dan seterusnya. Rasanya aku hampir mati bosan dengan kegiatan menyebalkan ini.


“Tapi… tidak semenyebalkan itu sih…”, tiba-tiba aku tersenyum sendiri dengan pikiran yang berseliweran dalam benakku. Bayangan seseorang memenuhi otakku. Aku berjalan pelan menaiki tangga sambil melamun, sampai-sampai tak menyadari ada seseorang yang memperhatikanku sejak aku turun dari motor tadi.


“Ehm. Apa ada sesuatu yang lucu sampai pangeran es kita yang satu ini bisa tersenyum seperti itu?”
Aku mendongakkan kepalaku saat mendengar suara yang nyaris membuat jantungku mencelat. Kudapati sesosok namja berkulit putih pucat, berwajah chubby dengan mata sipitnya yang sangat menggemaskan. Onew hyung. Dia sedang menatapku dengan senyumannya yang entah kenapa selalu berhasil membuatku sinting.


“Hyung? Apa yang kau lakukan disini?”, tanyaku mengalihkan pertanyaannya.
“Hmm… menunggumu?”, jawabnya sambil tersenyum jahil. Brengsek. Hentikan senyuman mautmu itu hyung! Kau bisa membuatku gila dengan senyuman sialanmu itu!
“Aku serius”, ujarku dengan ekspresi datar, padahal jantungku sudah melompat-lompat tidak karuan di dalam dadaku. Sialan!


“Hahahaha! Kau ini paling tidak bisa diajak bercanda. Ada yang ingin aku kenalkan padamu”, katanya tetap sambil memamerkan senyumnya. “Ayo, ikut aku!”, kali ini Onew hyung menarik lenganku dan menyeret paksa  diriku menuju ruang latihan SHINee. Aku tak mengatakan apa-apa. Well, apa yang perlu kukatakan? Lagipula aku memang jarang bicara. Malas.


“Hey semuanya! Pangeran es kita sudah datang!”, teriak Onew hyung pada member yang lainya.
“Ya! Minho ah, kenapa kau telat?!”, protes Taemin. Si magnae yang selalu petakilan, nggak bisa diam.
“Kau telat sepuluh menit Minho! Berarti hari ini kau yang harus beli makanan, hehehe”, sambung Jonghyun hyung. Namja berbadan atletis yang suaranya setinggi langit. Terkadang ingin rasanya aku menyumbat telingaku setiap kali dia berbicara. Suaranya tinggi sekali, aku sampai takut gendang telingaku bakal pecah kalau mendengar dia berbicara terus menerus. Hah.


“Kalau kau telat lagi, kau harus teraktir kami Minho!”, jerit si cerewet Key hyung. Dia lebih parah dari Jonghyun hyung. Cerewetnya minta ampun, seperti bajaj korslet (emang di Korea ada bajaj ya? -,-).
Saat aku mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan, kudapati ada sesuatu yang ganjil. Seharusnya, disini hanya ada lima orang. Ya, lima orang termasuk aku. Tapi di sudut ruangan, kulihat seseorang sedang tersenyum seraya menatapku. Atau lebih tepatnya, tatapannya menghujam ke arahku.


“Ya, sudahlah. Yang penting kan sekarang Minho sudah disini. Oh ya, Minho kenalkan, ini Soo Hoon”, kata Onew hyung sembari menunjuk ke arah seorang gadis berambut cokelat sepundak dengan mata bulatnya yang aneh. Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan senyumannya. Tatapannya juga, seolah dia ingin menerkamku kapan saja ketika aku lengah.


“Annyeonghaseyo. Soo Hoon imnida. Mannaseo bangapseumnida”, ujar gadis itu seraya membungkuk ke arahku. Aku balas membungkuk ke arahnya,dan berusaha tersenyum semanis mungkin. Kuharap dia tak menyadari senyumanku yang dipaksakan ini.


“Minho imnida”. Seperti biasa, ucapan yang singkat, padat, dan jelas.
“Baiklah, Minho, mulai saat ini Soo Hoon-ssi akan ikut latihan bersama kita. Dia akan menjadi cover dancer di SHINee, kuharap kau bisa bekerja sama dengannya”, ujar Onew hyung menutup acara perkenalanku dengan Soo Hoon.
Ya, hanya itu terjadi.


Kupikir  begitu. Tapi ternayata aku salah. Bencana besar sudah menantiku, karena sejak saat aku mengenal gadis bernama Soo Hoon itu, perlahan hidupku menuju ambang  kehancuran. Masalah demi masalah datang membuat hidupku berantakan.


==========================================================


[Soo Hoon POV]


Dia tidak mengenalku? Benarkah? Dasar brengsek. Manusia macam apa kau itu?
Well, tak apalah. Toh sejak awal aku memang tak berniat membuatnya mengingatku. Tujuanku masuk ke SMEnt dan menjadi cover dancer SHINee kan bukan karena dia. Tapi karena…


“Soo Hoon-ssi? Kenapa melamun?”, suara Onew oppa membuyarkan lamunanku.
“A, aku tidak melamun kok oppa…”,jawabku tergagap-gagap.
“Jinja? Bohong. Buktinya kau kaget sekarang”, katanya sambil tersenyum manis. Omona~! senyumnya bikin aku lumer~! Oppa~ jangan tersenyum terus seperti itu! Nanti hatiku bisa menangis melihat wajahmu yang menggemaskan itu~!
“A, aniyo…”, ujarku kehabisan kata.


Aku menyukainya. Ya, Onew oppa. Aku sangat menyukainya. Semua yang ada dalam dirinya, aku suka. Dan dengan semua keterbatasan yang aku miliki saat ini, aku bertekad melampaui semua itu dan membuatnya  menyukaiku. Aku akan berusaha. HWAITING!


“Tuh kan, kau melamun lagi…”, ucap Onew oppa sambil memanyunkan bibirnya, tanda dia merajuk. Omona, demi apapun dia terlihat sangat maniiis sekali! >///<. bosan="" karena="" berada="" di="" dekatku="" ya="" makanya="" kau="" lebih="" suka="" melamun="" kalau="" gitu="" aku="" pergi="" aja="" deh="" katanyasambil="" berlalu.=""></.>


“Andwae!”, serta merta kutahan lengannya dengan kedua tanganku. “A, ani oppa! Aku nggak bosan kok! Hanya saja… aku sedikit gugup kalau berada di dekat oppa…”, ucapku jujur sambil menundukkan kepala, menyembunyikan wajahku yang aku yakin saat ini sudah semerah kepiting rebus.


“Ha? Gugup? Jinja??? Hahahahaha! Kenapa harus gugup Soo Hoonie?”
Ah, mwo? Tadi dia panggil aku apa? Soo Hoonie???  Kyaaaa~! Manisnyaaaa~ >.< Perasaanku nyaris meledak saat itu juga. Dan dengan konyolnya, tanpa berpikir panjang aku langsung menatap mata Onew oppa dan berkata (lebih tepatnya berteriak), “Onew oppa! Ja, jadilah pacarku!”, kemudian tanpa ancang-ancang, aku berjinjit dan merenggut wajah Onew oppa, membenturkan hidungku dengan hidungnya dan membuat bibir kami saling bertemu.
Detik berikutnya, yang terjadi adalah suasana hening yang menyelimuti koridor gedung SMEnt dan wajah Onew oppa yagn menunjukkan keterkejutan yang tak ada habisnya.


Diam-diam, di ujung koridor terdapat sepasang mata yang mengamati kejadian itu sejak tadi dengan tatapan matanya yang tajam. Tersirat kobar kemarahan yang luar biasa dari tatapan mata yang mengerikan itu.


========================================================


[Minho POV]


BRUKK! Suara tas sekolah dibanting dengan kasar ke atas lantai.
“Brengsek! Yeoja terkutuk! Kubunuh kau kalau ketemu nanti! Aaarrrgh! Sialan!”, umpatku bertubi-tubi pada tembok kamarku yang tak berdosa. Aku sampai heran kenapa aku bisa jadi secerewet ini, padahal biasanya kalau aku marah aku tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun. Paling-paling hanya aku pendam dalam hati. Tapi kali ini? Aku sampai mengeluarkan umpatan-umpatan tak pantas dari mulutku yang terhormat ini. Hey! Kemana minho si pangeran es itu?! HAH!


 Aku tak bisa menahan amarah yang telah bertahta dalam diriku. Menguasai diriku sepenuhnya dan nyaris membuatku mengamuk menghancurkan segala sesuatu yang ada di depan mataku. Semua ini karena dia. Ya, karena yeoja itu. Yeoja yang tiba-tiba datang begitu saja dan menghancurkan moodku. Yeoja sialan. Berani-beraninya dia menyatakan cinta pada Onew hyung?! Dan, dan dia MENCIUMNYA! Memangnya dia pikir dia siapa hah?! Memangnya… memangnya… memangnya aku siapanya Onew hyung sampai berani menanyakan hal itu?
Tiba-tiba aku jadi frustasi mengingat aku sama sekali tidak berhak atas apapun yang ada pada diri Onew hyung. Dan aku BENCI itu.


========================================================


JEDUG! Kudorong tubuhnya sampai punggungnya mencium tembok.


“Jangan dekati dia”, kataku sedingin es. Aku menghujam tatapanku ke dalam matanya. Kemudian hening sesaat. Tak ada suara. Yang terjadi hanya kami yang saling tatap-tatapan.
“Waeyo?”, tanyanya dengan raut wajah yang sangat menjengkelkan. Ngajakin ribut.


“Kalau kubilang jangan dekati, ya jangan dekati!”, ujarku nyaris membentaknya. Kesabaranku sudah mulai menipis. Akan kuhajar dia kalau sekali lagi dia menunjukkan tampang nyolotnya yang menyewotkan itu.
“Apa… kau menyukaiku?”, tanyanya padaku.
“Hah? Mwo?”, aku balik bertanya, bingung dengan pertanyaanya.
“Kau tidak ingin aku dekat-dekat dengan Onew oppa, apa karena cemburu melihatku dengannya? Jadi, benar kau menyukaiku?”


“Mwo?? Apa aku sebabo itu sampai harus menyukai yeoja sepertimu?”, jawabku dengan jawaban yang jleb banget. Aku yakin pasti dalam hatinya dia bilang ‘hemm, dalem banget’.
“Ani. Oh, begitu…”, ujarnya singkat. Apa maksutnya dengan ‘oh, begitu’? jawaban apa itu?! “Berarti kau menyukai Onew oppa, ya akan?”, kali ini pertanyaanya menghujam langsung tepat di jantungku. Tepat sasaran.
“M, mwo???”, kataku yang budek mendadak.


“Kau tidak menyukaiku. Tapi kau menyuruhku menjauhi Onew oppa, berarti kau menyukai Onew oppa. Benar kan?”, katanya seraya menaikkan sebelah alisnya.
“A, ani! Hahahahaha! Kau bercanda ya?! Itu tidak mungkin! Aku dan Onew hyung, kita ini sama-sama namja! Mana mungkin aku menyukainya! Itu TIDAK MUNGKIN! Itu MUSTAHIL! Jangan mengatakan yang tidak-tidak ya?! Ara?!”, ucapku secepat kilat dan bahkan aku sama sekali tak menyanga aku mencatat rekor berbicara panjang lebar dengan durasi secepat ini. Aku tau gengsiku terlalu tinggi mengatakan kalau aku ini gay. Apalagi pada yeoja super sombong yang ada di hadapanku ini.


Keringat dingin mulai membanjiri pelipis dan sekujur tubuhku. Wajahku pucat dan nafasku terengah-engah. Ini bukan aku. Sama sekali tidak terlihat seperti Choi Miho. Berbeda sekali kondisinya dengan seseorang yang ada di hadapanku, dia terlihat tenang, tanpa beban, dan dengan senyum iblisnya yang seperti menikam tepat di dadaku. Bagaimana bisa dia setenang ini??? Yeoja terkutuk!


“Kau pasti akan menyesal mengatakan hal itu”, ucapnya enteng, kemudian dia memberikan kedikan menyuruhku menoleh ke belakang. Dan betapa terkejutnya diriku saat aku menoleh, di sana, kulihat sesosok namja dengan wajah yang sangat kukenal. Berkulit sepucat tahu dengan pipinya yang gembil. Namun saat ini bukan senyuman manisnya yang menghiasi wajahnya, tapi seraut wajah tegang dengan mata yang terbelalak menatap ke arahku.


“O, Onew hyung…”
Oh Tuhan… tidak. Dia mendengar semuanya. Semua yang tadi aku ucapkan.
Sial!


=========================================================


[Onew POV]


Jadi, begitukah perasaannya selama ini padaku? Sama sekali tidak… tidak… punya sedikit saja? Perasaan? Rasa suka? Apakah begitu?
Aku duduk di ruang latihan dengan berbutir-butir keringat jatuh membasahi rambut, wajahku, bahkan sebagian besar tubuhku. Aku menjambak rambutku yang sudah mulai panjang ini dan mengerang penuh keputusasaan.
Kata-kata Minho kemarin, berputar-putar dalam benakku, benar-benar membuatku gila. Dengan amat sangat jelas, aku mendengar dengan telingaku dan melihat dengan mata kepalaku sendiri dia mengatakan bahwa dia TIDAK MENYUKAIKU. Waktu itu, aku benar-benar berharap Tuhan mencabut nyawaku saat itu juga.


Mungkin kalian bingung kenapa aku bisa menyukai Minho yang seorang namja. Entahlah… Tapi aku sendiri juga tidak tau kenapa. Bahkan tak ada satu kata pun di dunia ini yang dapat mengemukakan alasan kenapa aku menyukainya. Aku sangat menyukainya. Ah tidak, belakangan aku baru menyadari kalau aku bukan menyukainya. Tapi, aku mencintainya. Ya, aku sangat mencintainya. Titik. Hanya itu yang aku tau.


Tapi taukah kalian bagaimana rasanya saat seseorang yang sangat kau cintai dengan mantap mengatakan kalau dia SAMA SEKALI TIDAK MENYUKAIMU? Hancur. Ya, itulah yang aku rasakan sekarang.
Tanpa terasa, sebutir air mata kepedihan bergulir menuruni pipiku.


========================================================


[Soo Hoon POV]


Hatiku seperti diiris sembilu, melihat Onew oppa meneteskan air mata. Aku benci sekali saat aku tak bisa berbuat apa-apa  untuk membuatnya tidak menangis, aku benci sekali saat aku hanya diam mematung melihatnya menderita, aku benci sekali saat aku hanya dapat menatapnya padahal aku tau dia sangat terluka, tapi egoku lebih mengerikan lagi, karena aku BENCI sekali saat aku melihat Onew oppa meneteskan air mata dan aku tau air mata itu bukan untukku. Tapi untuk seseorang yang sangat kubenci. Minho. Kau…!! Tak cukupkah atas semua yang telah kau lakukan padaku??!
Aku berlari menyusuri koridor gedung SMEnt dan di situlah aku menemukan benda yang kuharap tak pernah kutemukan. Di dekat pintu masuk ruang pribadi SHINee. Buku diary Minho.


=========================================================


Konser mini SHINee sudah berkahir. Dan sekarang aku sudah tidak berguna lagi di SHINee.
Kulihat belakangan ini, semenjak peristiwa Minho mengatakan dia tidak menyukai Onew oppa, mereka berdua jadi lebih banyak diam. Kupikir itu akan berakhir hanya dalam beberapa hari saja, setelah itu semua akan kembali normal. Ternyata perkiraanku meleset. Sampai saat ini, sudah lebih dari satu bulan, mereka tetap tak saling bicara. Dasar, sama-sama suka tapi yang satu kurang percaya diri untuk mengatakn suka, yang satu lagi gengsi mau ngaku kalo suka. Dasar babo. Aku merutuk-rutuki kedua namja babo itu dalam hati, tanpa sadar menunjukkan raut wajah kesalku pada member yang lain.


“Waeyo Soo Hoonie?”, tanya Key sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan mukaku.
“A, ani. Aku hanya sedang berpikir saja…”, jawabku asal. Sebal sekali, Key selalu menggangguku sejak pertama kali aku jadi cover dancer di SHINee. Dan dia sama sekali nggak bisa diam. Cerewetnya minta ampun. Aku sampai kewalahan nanggepin omongannya.


“Berpikir tentang apa?”, tanya Key. Hah, mau tau aja! Kataku sewot, tentu saja dalam hati.
“Gwaenchana, lupakan saja”, jawabku sambil berlalu. Aku berusaha tak menggubris protes Key karena aku tak menjawab pertanyaannya. Lalu aku segera pergi dari ruang latihan dan menuju ke lokerku. Mengambil sesuatu. Sesuatu yang sangat penting yang sudah aku persiapkan jauh-jauh hari sebelum lusa tiba. Huff… semua ini harus aku akhiri.


========================================================


[Onew POV]


“Apa ini?”, tanyaku heran dengan sebuah amplop berwarna pink yang disodorkan Key padaku.
“Mollayo. Aku TIDAK TAU hyung. Huh”, jawab Key dengan nada yang nyolotnya minta ampun. Kenapa sih dia? “Itu dari Soo Hoonie. Dia menyuruhku menyampaikannya padamu”, sambung Key tetap dengan bibir manyun dan mata kucingnya yang menandakan kalau dia sedang kesal.


“Kau ini kenapa sih?”, tanyaku akhirnya, tak tahan melihat wajah kesalnya.
“Kenapa??? Hyung tanya kenapa?? Aku kesal hyung! Kesal! Hyung kan tau aku suka sama Soo Hoonie! Tapi kenapa hyung yang dapat surat… surat… cci… arrgh pokoknya surat! Warnanya pink lagi! Aku ga rela!”, kemudian Key melengos pergi dengan menghentak-hentakkan kakinya seraya berkata, “Eotteokkhe??! Hah! Buuyaaa???! Soo Hoonie babo!!”


Aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala melihat kelakuan Key. Kemudian aku beralih ke surat dari Soo Hoon-ssi. Kuperhatikan amplop berwarna merah muda itu dengan cermat. Di sudut pojok amplop itu terdapat ukiran bunga-bunga indah dan disana tertulis


To: Onew oppa


Kubuka amplop itu dengan hati-hati, seolah itu adalah barang rapuh yang akan pecah jika aku tak berhati-hati memegangnya. Di dalamnya terdapat secarik kertas dengan tulisan tangan bertinta cokelat, warna cokelat yang mengingatkanku pada warna rambut Soo Hoon-ssi.


                Dear Onew oppa,


                Oppa, mianhae aku tak bisa bicara langsung padamu. Kupikir ini tidak terlalu   penting bagimu, jadi lebih baik kalau aku menyampaikannya lewat surat saja.
Oppa, aku tau kau sudah mendengar ini langsung dari mulutku, tapi aku ingin mengatakannya sekali lagi. Boleh kan?
Aku menyukaimu oppa… ah, salah, bukan, bukan… Tapi, aku mencintaimu…
Aku sama sekali tidak berharap kau mengatakan kau juga menyukaiku, karena aku tau, sudah ada seseorang yang kau cintai :) Gwaenchana…


Aku hanya ingin kau tau saja, bahwa aku mencintaimu… sampai kapan pun, perasaan ini akan tetap sama. Tapi biar bagaimanapun aku berharap, seiring berjalannya  waktu, semoga perasaanku akan terkikis dan semakin lama akan sirna termakan waktu. Agar perasaanku ini tak membebanimu, tak menyakitimu oppa… aku tau ini sulit bagimu. Mianhaeee :’(
Oppa, kau mau kan mengabulkan permintaan kecilku? Kejarlah orang yang kau cintai itu oppa, jangan biarkan dia lepas darimu :) berjanjilah padaku kau akan menjaganya selalu… untukku… janji ne?


Kau tau oppa? Mencintaimu itu seperti luka yang sangat indah… :’)
Saranghae oppa… Bye…


                                                                                Dari seseorang yang sangat mencintaimu,
                                                                                                Choi Soo Hoon.


=========================================================


 [Minho POV]


“Apa ini?”, ujarku seraya mengangkat sebelah alisku. Kulihat ada sesuatu terselip di celah lokerku. Sebuah amplop. Warnyanya biru. Siapa yang mengirim surat? Jangan-jangan surat cinta lagi, pikirku bergidik ngeri. Kalau dari Onew hyung sih, nggak papa. Tapi kalo dari fansku… membayangkannya saja aku sudah membuatku merinding (dasar gay blo’on, dapet surat cinta kok malah merinding -,-).
Pada amplop itu tertulis


To: Choi Minho


Kubuka amplop tak beralamat itu, kemudian segera kubaca isinya.


                Minho, aku tidak suka berbasa-basi. Langsung pada intinya saja.
Katakan pada Onew oppa kalau kau menyukainya. HARUS! Ara? Awas kalau sampai tidak kau lakukan! Kuberitau ya, kau itu tidak bisa memilih dengan siapa kau akan jatuh cinta! Jadi sebaiknya kau jujur pada perasaanmu dan katakan yang sebenarnya… ara?


Dasar kau ini, namja babo. Gay babo!
Hufft, tadinya aku tak berniat berbicara panjang lebar denganmu dalam surat ini. Tapi entah kenapa, aku ingin tau… apa tidak kau mengingatku? Atau kau hanya pura-pura tidak mengingatku? Well, mollayo… hanya kau yang tau. Aku tak akan mendapat jawaban, karena kau tak mungkin membalas suratku.
Kau tau? Betapa aku membencimu. Betapa aku ingin sekali membuangmu dari ingatanku untuk selama-lamanya. Tapi… aku tidak bisa. Aku juga tidak tau kenapa…


Dan kali ini… aku ingin protes! Kenapa harus Onew oppa? Kenapa bukan orang lain saja yang kau sukai?! Tidak cukupkan kau sudah merebut appa, umma, dan Minseok oppa dariku???! Kau tega sekali! Tadinya, aku bertekad kali ini aku tidak akan menyerahkan Onew oppa padamu. Tidak akan. Tapi… lagi-lagi aku tidak bisa…
Kau tau kenapa aku tidak bisa melakukannya?


Suka tidak suka, walaupun aku sangat membenci ini, tapi aku harus mengatakannya. Aku tak bisa melakukannya karena… aku menyayangimu. Aku terlalu menyayangimu Choi Minho… meskipun  sejak kecil kau tak pernah mengalah dariku, tapi aku tetap tak bisa mengusir rasa sayangku yang begitu besar padamu…
Maka dari itu, sekali ini saja… untuk pertama dan terakhir kalinya, biarkan aku memanggilmu…


Minho oppa… aku menyayangimu…






                                                                Dari dongsaeng yang tak bisa berhenti menyayangimu,
                                                                                                Choi Soo Hoon.


P.S.:       Jangan bertindak konyol dengan mengabaikan Onew oppa! Kalau aku sudah menyelesaikan pendidikanku dan kembali ke Korea, ternyata kau dan Onew oppa belum berstatus ‘pacaran’, akan KUBUNUH kau Choi Minho!!!




Setitik air mata turun dari mataku yang berkabut dan berkaca-kaca. Inikah takdirku? Kenapa harus serumit ini? Bukan hanya Choi Minho yang aku sakiti dan khianati, bahkan adiknya pun kini menjadi korban dari keegoisanku yang terdalam.


========================================================


[Soo Hoon POV]


Aku menunggu pesawat tujuan London di ruang tunggu sambil membolak-balikkan buku diary hasil curian. Sebenarnya bukan curian, aku menemukannya, itu berarti aku tidak mencurinya kan? Hah, siapa suruh si babo itu meletakannya sembarangan.
Kubuka halaman demi halaman, dan sampailah pada bagian tengah buku diary berwarna biru laut itu… kutatap potongan foto yang tercecer di situ, kemudian aku tersenyum dengan air mata jatuh dari kelopak mataku.












=====================================================


[Author POV]


5 tahun kemudian…


“Waaah, pestanya meriah sekaliii!!”, terik Taemin seheboh-hebohnya, membuat nyaris semua tamu yang berdatangan menoleh ke arahnya.
“Hush! Taemin! Bisa tidak kau mengecilkan volume suaramu???”, ujar Jonghyun berusaha berbisik, namun tetap saja, suaranya yang tinggi justru membuatnya tidak terlihat seperti berbisik, melainkan membentak  -,-
“Hyung sendiri berisik. Weeeek”, ledek Taemin pada Jonghyun seraya menjulurkan lidahnya. Hal itu mau tak mau memancing kedongkolan Jonghyun.
“Heh! Awas kau ya! Bocah sialan!”, berikutnya sudah bisa ditebak apa yang terjadi, Taemin dan Jonghyun bermain kejar-kejaran seperti orang-orang dewasa konyol yang bikin orang nggak abis pikir mengingat usia mereka yang bukan balita lagi.


“Haaah, mereka selalu saja seperti itu…”, desah Onew heran melihat kelakuan kedua dongsaengnya itu. “Aku ikutan juga ah! :D”, ujar Onew (sangtae kumat -,-) , hendak ikut-ikutan main kejar-kejaran sama Taemin dan Jonghyun. Baru aja mau melangkahkan kaki buat berlari, tiba-tiba seseorang menahannya.
“Andwae chagi. Kau bukan anak kecil lagi…”, ujar sebuar suara sedingin bongkahan es batu.
“Aigo, yeobooo… tapi kan mereka juga bukan anak kecil lagi! Kenapa hanya aku saja yang kau larang???”, protes Onew pada kekasihnya.
“Karena kau berusia paling tua diantara kita semua, chagi…”, jawabnya enteng dengan senyum simpulnya yang membuat Onew menyererah dalam hitungan detik.


“YA! Kenapa kalian malah bermain kejar-kejaran dalam pesta pernikahanku?!”, kali ini giliran Key yang mengamuk. “Kalian mengacaukan pestaku tau!”, bentakknya sok galak.
“Aigo yeobo~ jangan membentak mereka seperti itu… biar bagaimanapun kan mereka itu kakak dan adik iparku ^^”, tiba-tiba Soo Hoon muncul dari dalam rumah, menghamiri Key dan bergelayutan di lengan Key. Key hanya manyun pasrah seperti biasanya mendengar ucapan Soo Hoon, dia tak berdaya kalau Soo Hoon sudah bergelayutan di lengannya sambil menatapnya dengan tatapan manja.


“Hah, mentang-mentang kalian pengantin baru, seenaknya saja mengatur-ngatur kita!”, ujar Taemin tak terima dituduh sebagai pengacau pesta pernikahan hyungnya.
“Ya benar! Aku setuju dengan pendapat Taemin!”, dukung Jonghyun.


“YA! Kau mau mati hah??!”, pelotot Key. Sejenak kemudian terdengar ledak tawa mereka semua. Ternyata, serumit apapun kehidupan, Tuhan sudah merencanakan hal terindah di balik semua itu. Benar kan?










-THE END-


[tolong tinggalkan jejak ya chingu~ ^^]